INDOPROPERTYNEWS.COM – Sultan Serdang, Tuanku Achmad Thalaa Syariful Alamsyah, menyampaikan penolakannya terhadap penggunaan istilah “tanah negara bebas” yang akhir-akhir ini mencuat dalam isu pertanahan, khususnya terkait lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) dan bekas Acte van Concessie milik Kesultanan Serdang.
“Istilah ini tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan dapat menyesatkan publik. Tanah yang kembali ke negara setelah HGU berakhir tetap berada dalam kewenangan negara, bukan berarti tanah itu bebas dari aturan atau sejarah,” ujarnya di Medan, Kamis.
Ia menuturkan bahwa banyak lahan yang kini disebut “tanah negara bebas” dulunya merupakan tanah konsesi yang diberikan Kesultanan Serdang kepada perusahaan asing atau BUMN dengan maksud untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu demi kesejahteraan bersama.
“Perkebunan yang luas di Sumatera Timur terbangun karena kebijaksanaan para Sultan dalam membuka peluang investasi,” katanya.
Baca juga: Menteri PKP – Menteri Imipas Siap Maksimalkan Tanah Penjara Jadi Perumahan Rakyat
Namun, menurut Sultan, dalam perjalanannya, perusahaan-perusahaan negara mengelola lahan tersebut dan memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan hak-hak kesultanan. Bahkan, saat ini beberapa lahan dimanfaatkan bersama pengembang properti tanpa mengakui peran Kesultanan Serdang.
“Kami tidak melihat manfaat dari kerja sama itu, baik bagi kesultanan maupun masyarakat,” tegasnya.
Sultan juga menilai penggunaan istilah “tanah negara bebas” seolah-olah menggambarkan tanah tersebut tak bertuan. Padahal, secara hukum dan etika, ketika HGU berakhir atau lahan dibiarkan terlantar, tanah tersebut kembali ke negara hanya sebagai pengelola, bukan pemilik absolut yang mengabaikan sejarahnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa banyak dari lahan tersebut merupakan tanah adat dan warisan masyarakat Melayu yang telah ada jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia.
Baca juga: Menteri ATR: 73 Ribu Hektar Tanah Telantar Bisa Dimanfaatkan untuk Proyek 3 Juta Rumah
“Nasionalisasi yang terjadi pasca-kemerdekaan menyebabkan Sultan kehilangan hak perdata. Jika nasionalisasi itu ditafsirkan dengan benar, seharusnya hanya berlaku atas aset milik perusahaan Belanda, bukan tanah adat Kesultanan. Sultan adalah warga negara Indonesia, bukan warga asing,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa nasionalisasi berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 seharusnya ditujukan kepada perusahaan asing, bukan terhadap tanah adat milik masyarakat Serdang.
Sultan mengingatkan bahwa anggapan bahwa tanah tersebut bisa diklaim secara bebas sangat keliru dan merugikan hak-hak historis masyarakat lokal.
Baca juga: Sejumlah Kantor Pertanahan Tetap Buka Selama Libur Lebaran 2025
“Kalau tanah itu digunakan untuk kepentingan rakyat, kami rela. Tapi jika hanya untuk bisnis tanpa kejelasan status dan tanpa melibatkan kami sebagai bagian dari sejarah tanah tersebut, tentu kami keberatan,” ujarnya.
Untuk itu, Sultan Serdang mengajak seluruh pihak terkait untuk berdialog dan mencari solusi yang adil serta menghargai martabat masyarakat Melayu yang selama ini terabaikan.***