INDOPROPERTYNEWS.COM – Ketimpangan dan konflik agraria di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak negara ini meraih kemerdekaan.
Fenomena ini terjadi akibat kebijakan yang dinilai kurang berpihak pada masyarakat luas.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 68 persen tanah dan kekayaan alam di Indonesia dikuasai hanya oleh satu persen kelompok tertentu.
Persoalan ini menjadi perhatian utama dalam penyelenggaraan Asia Land Forum (ALF) 2025, yang akan digelar di Indonesia.
Baca juga: Setiap Tahun 100 Ribu Hektar Lahan Sawah Berkurang Pemerintah Dorong Perlindungan dan Penggantian
Berdasarkan data yang ada, sejak tahun 2015 hingga 2024 telah terjadi sedikitnya 3.234 kasus konflik agraria dengan cakupan lahan mencapai 7,4 juta hektar. Konflik-konflik tersebut berdampak langsung terhadap sekitar 1,8 juta keluarga.
Dalam menghadapi kondisi ini, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan Reforma Agraria sebagai salah satu upaya strategis untuk mencapai swasembada pangan, pemerataan ekonomi, pemulihan lingkungan, pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan, serta penguatan badan usaha koperasi.
ALF 2025: Peran Krusial dalam Reforma Agraria
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menegaskan bahwa keberhasilan reforma agraria sangat bergantung pada keterlibatan rakyat yang aktif dan bermakna.
Oleh karena itu, ALF 2025 diharapkan dapat menjadi wadah untuk membangun komitmen bersama antara pemerintah dan gerakan reforma agraria.
Forum ini akan membahas empat isu utama, yakni reforma agraria, konflik agraria, perlindungan terhadap pembela hak atas tanah dan lingkungan hidup, hak perempuan atas tanah, serta dampak perubahan iklim terhadap manusia, lingkungan, dan alam.
Baca juga: Kuasa Hukum Kades Kohod Tanggapi Dugaan Pencatutan Nama Warga dalam Penerbitan SHGB
Koordinator International Land Coalition (ILC) di Asia, Anu Verma, menyoroti permasalahan perburuan mineral di kawasan Asia, termasuk Indonesia, yang menyebabkan peningkatan investasi tanah secara masif dan berdampak negatif terhadap masyarakat lokal.
Ia juga mengangkat isu perampasan tanah yang memperburuk kondisi masyarakat rentan. “Perempuan di Asia hanya memiliki 10,7 persen tanah, angka ini jauh di bawah rata-rata global,” ungkap Verma.
Ia menegaskan bahwa ILC berkomitmen untuk mendukung organisasi akar rumput yang memperjuangkan tata kelola lahan berbasis masyarakat serta pemberdayaan kelompok rentan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, menilai ALF 2025 sebagai momen penting untuk konsolidasi dan perjuangan ekonomi politik di negara-negara Asia.
Baca juga: 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran: KPR Subsidi Tercapai 87.736 Unit
Ia mengingatkan bahwa proses industrialisasi kerap kali berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan. “ALF 2025 menjadi momentum mengingatkan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan kehidupannya melalui reforma agraria,” tegas Zenzi.
Dalam kesempatan lain, Deputi 2 Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi, menyoroti pentingnya ALF 2025 sebagai ruang diskusi strategis bagi masyarakat adat, terutama dalam kaitannya dengan hak atas tanah dan sumber daya alam.
Diskusi ini diharapkan mampu memberikan wawasan serta solusi konkret bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka di tengah kondisi ketimpangan agraria yang masih terjadi.