INDOPROPERTYNEWS.COM – Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Dr. M. Ilham Hermawan, S.H., M.H. menyatakan, badan hukum Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) tidak dapat disamakan dengan Perkumpulan dan Yayasan, apalagi dengan badan usaha yang jelas-jelas mencari keuntungan.
Menurutnya, PPPSRS merupakan badan nirlaba (tidak mencari keuntungan) yang berbeda dengan Perkumpulan dan Yayasan. Sebab keanggotaan PPPSRS bersifat terbatas, sementara Perkumpulan dan Yayasan bersifat terbuka. Setiap orang yang membeli unit sarusun mau tidak mau otomatis jadi anggota, maka anggota PPPSRS bersifat tertutup.
”Jadi jangan nanti pemerintah menyamakan kemudian membebankan terhadap sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya. Misalnya Pajak, karena itu berbeda,” kata Ilham di acara Talk Show Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI), dengan tema IPL Rumah Susun/Apartemen Kena PPN?, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Selain Ilham, tampil sebagai narasumber, Tunjung Nugroho pejabat Dirjen Pajak RI, Emanuel Andy Harsanto Konsulan Property Management, Budi Hermawan, Konsultan Pajak, dan Kian Tanto, Ketua PPPSRS Mediterania Boulevard Residences. Acara tersebut ikuti sekitar 400 peserta.
Ilham mengatakan, tidak hanya dari sisi keanggotaan, kegiatan PPPSRS juga terbatas hanya mengelola benda bersama, tanah bersama, dan bagian bersama. Domisilinya hanya ada disana. Sehingga tanpa harus buat surat keterangan domisili layaknya kantor Badan Usaha atau Perkumpulan yang bisa pindah-pindah, tapi PPPSRS tidak bisa pindah-pindah.
”Memang dikatakan dapat menunjuk atau membentuk seakan-akan PPPSRS dapat menjadi pengelola. Tapi kalau PPPSRS mau jadi pengelola diapun harus memiliki ijin pengelola rumah susun, karena Undang-Undang menyatakan seperti itu. PPPSRS bertanggung jawab pengelola, tapi ketika melakukan tanggung jawabnya dia dapat menunjuk atau membentuk.” jelas Ilham.
BACA JUGA: Boro-bora Kena PPN, P3RSI: Naik IPL Saja Pemilik dan Penghuni Apartemen Gaduh dan Bisa Bentrok Fisik
Sumber keuangan pengelolaan rumah susun, katanya, juga terbatas dari Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL). Kata IPL tidak pernah dimunculkan dalam UU 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. IPL itu baru muncul dalam Lampiran Permen 14 Tahun 2021 Tentang PPPSRS.
”Di situ disebut IPL itu iuran dari pemilik dan penghuni. Untuk apa? Pertama, mengelola benda bersama, tanah bersama, dan bagian bersama. Kegiatannya apa? Operasional pemeliharaan dan perawatan. Jadi tidak bisa dikenakan satu beban ketika itu ditarik sebagai iuran. Keanggotaannya terbatas dan lingkup pengaturannya terbatas. Sehingga tidak bisa disamakan PT, Perkumpulan, dan Yayasan,” tegas Ilham.
Sementara itu, praktisi property management Emanuel Andy Harsanto mengatakan, berbeda dengan rumah tunggal (landed house), kebutuhan pendanaan di hunian strata title (rumah susun) cukup tinggi, karena kompeksitas bangunannya lebih rumit. Ada lift, sistem kebakaran juga harus canggih, sehingga tidak mudah atau hanya sekedar mengumpulkan uang iuran seperti di RT?RW.
BACA JUGA: Lewat Grand Final Proliga Bolavoli 2024, Bank DKI Ajak Warga Gunakan Transaksi Non Tunai
Komponen biaya pengelolaan gedung rumah susun itu ada dua. pertama, OPEX yang merupakan biaya operasional yang habis dipakai dalam setahun. Kedua, CAPEX, yaitu Belanja Modal/ Biaya besar tidak habis pakai setahun (depresiasi). Misalnya suatu saat ada peremajaan bangunan, karena sifatnya ada penurunan kualitas sejalan dengan waktu.
Biaya OPEX yang besar itu antara lain: biaya upah (pengelola, service provider/3rd party, HK, Sec, Hygiene, Pest), utilitas area umum, perawatan pemeliharaan bangunan, peralatan, Perijinan, dan Asuransi.
”Perawatan itu penting, misalnya lift kalau tidak ada perawatan rutin itu sangat berbahaya bagi keselamatan manusia. Selain itu sistem penanganan kebakaran dan plumbing system. Itu semuanya harus rutin dilakukan perawatan. Belum lagi fasilitas kolam renang, gym, perijinan, asuransi, dan lain-lain,” jelas Andy.
Sementara biaya CAPEX tadi disebut sebagai kontribusi atau dana cadangan. Di apartemen misalnya harus ganti litf yang usianya cukup lama itu butuh dana cukup tinggi yang bisa mencapai miliaran rupiah. Itu tidak mungkin dikumpulkan saat itu juga. Makanya harus ditabung dari awal.
BACA JUGA: Kembangkan TROPS, Progress Group Groundbreaking Pembangunan Restoran Kampung Kecil
”Pada intinya, kita mengelola keuangan itu awalnya secara konsep itu nirlaba. Kita usahakan tidak lebih dan tidak kurang, tapi mencukupi. Namun kenyataannya lebih banyak alami kekurangan. Karena banyak juga yang macet bayar IPL-nya, bahkan ada unit yang disita pemerintah. Sehingga kita kekurangan uang untuk membiayai operasional. Itu masih belum dijawab oleh pemeritah,” ungkapnya.
Karena itu, himbau Andy, pemerintah sebaiknya tidak menambah beban dari pengurus PPPSRS dengan mengenakan pajak (PPN) dari IPL. Sebab, saat ini banyak PPPSRS mengalami kesulitan dalam mencukupi biaya pengelolaannya. Jangan sampai pendanaan pengelolaan makin menurun, jika ditambah beban PPN pada IPL. ***