JAKARTAJAKARTA.ID – Balai Kota Jakarta kembali menjadi panggung aspirasi warga rumah susun. Sekitar 30-an Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) dari berbagai penjuru Jakarta mendatangi kantor Gubernur Daerah Khusus Jakarta.
Mereka membawa satu tuntutan sederhana, inginbertemu langsung dengan Gubernur Pramono Anung.
Kedatangan mereka bukan tanpa alasan. Ketua Umum P3RSI, Adjit Lauhatta, menyebut janji pertemuan itu sudah dilontarkan oleh Staf Khusus Gubernur, Wisnu P., saat mediasi aksi unjuk rasa besar-besaran warga rusun pada 21 Juli lalu. Namun, hingga kini, janji itu tak kunjung ditepati.
”Saat mediasi Unjuk Rasa Akbar ribuan Warga Rumah Susun, 21 Juli 2025 di Balai Kota, Pak Wisnu dengan yakin mengatakan bisa mempertemukan kami dengan Gubernur. Katanya, (waktu itu) Gubernur sangat sibuk sehingga belum bisa bertemu,” kata Adjit kepada wartawan di Balai Kota Jakarta, Senin, 11 Agustus 2025.
BACA JUGA: Lapangan Padel Terbaru di Jakarta Barat Segera Hadir di Ciputra International
Adjit mengatakan, setelah pertemuan itu, Wisnu seakan menghindar, jika ditanyakan janjinya. Bukan hanya Gubernur, dia juga mengatakan dirinya juga sangat sibuk.
”Maaf pak, kegiatan padet dengan segala permasalah dki jakarta sebagai ibu kota dan permasalahan,” jawab Wisnu dalam pesan singkatnya.
”Kami merasa Bapak Gubernur tidak menganggap penting masalah yang dihadapi puluhan ribu warga rumah susun di Jakarta terhadap ketidakadilan penggolongan pelanggan air PAM Jaya,” tegas Adjit.
Adjit heran, mengapa hingga kini tak satu pun surat audien dan Laporan Masyarakat dari P3RSI dan PPPSRS yang ditanggapi pihak Gubernur. Padahal permintaannya sangat sederhana hanya ingin ketemu dengan pemimpinnya.
Padahal, Pramono pernah berjanji akan menemui saat cegat, ketika warga rumah susun buat Laporan Masyarakat beberapa bulan lalu.
BACA JUGA: Bank Jakarta Bukan Sekadar Nama Baru, Laba Naik Tajam, UKM Panen Dukungan
”Kami hanya ingin bertemu Gubernur untuk menyampaikan masalah yang kami hadapi terkait dengan pengolongan kelompok pelanggan rumah susun air bersih PAM Jaya yang tidak adil. Selama ini Gubernur hanya mendengarkan satu pihak satu,” ungkapkan.
Menurut Adjit, puluhan ribu warga rumah susun merasa diperlakukan tidak adil oleh PAM Jaya. Mereka dikategorikan sebagai pelanggan Kelompok III, setara dengan pusat bisnis dan industri, padahal fungsi rusun adalah hunian.
”Kami merasa persoalan ini berlarut-larut, biar ada keputusan yang pasti, warga rumah susun berencana melakukan gugatan terhadap persoalan ini. Kami sudah berkonsultasi dengan kuasa hukum. Paling lambat akhir bulan ini akan didaftarkan,” jelasnya.
BACA JUGA: Bank Jakarta Tandatangani Komitmen Lomba Digitalisasi Pasar Bersama Pemprov DKI
Jangan Korbankan MBR
Keluhan serupa disampaikan Ketua PPPSRS Kalibata City, Musdalifah Pangka. Ia menyoroti rusunami subsidi yang justru dikenai tarif air seperti rusun menengah. “Warga MBR harus bayar Rp12.500 per meter kubik, padahal seharusnya hanya Rp7.500. Ini jelas keliru,” tegasnya.
Musdalifah juga mengingatkan janji kampanye Pramono – Rano yang ingin mensejahterakan warga DKI. “Kalau tarif air saja tidak adil, bagaimana bisa bicara kesejahteraan?”
”Saya sangat kecewa Gubernur masih sekali tidak mau berkomunikasi dengan warga rusunami yang jelas-jelas program pemerintah yang ingin menyediakan tempat tinggal yang layak huni,” ungkapnya dengan ekspresi kecewa.
Sementara itu, Ketua PPPSRS Royal Mediterania Garden Residences, Yohannes, menolak keras klasifikasi rusun sebagai pelanggan Kelompok III. Ia merujuk pada Pergub DKI Jakarta No. 37 Tahun 2024 yang menyebut Kelompok II sebagai kategori pelanggan rumah tangga dengan kebutuhan dasar air minum.
BACA JUGA: Dugaan Korupsi Kredit LPEI, KPK Dalami Aliran Dana Dan Peran Debitur
“Kelompok III itu untuk mal, pabrik, dan pelabuhan. Kami bukan itu. Kami tinggal di rusun, bukan menjalankan bisnis,” tegas Yohannes.
Keduanya mendesak Gubernur untuk segera meninjau ulang kebijakan penggolongan pelanggan air PAM Jaya. Mereka khawatir, ketidakadilan ini berkaitan dengan rencana IPO PAM Jaya di bursa saham.
“Sebagai BUMD, PAM Jaya harus tetap menjalankan fungsi sosialnya. Jangan korbankan warga MBR demi keuntungan,” tutup Yohannes.
Gubernur Salah Data
Sebelumnya diberitakan Pramono Anung yang menyebut tarif air di Ibu Kota sebagai yang “paling murah” dibandingkan kota-kota lainnya, menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Namun, data yang dikumpulkan P3RSI justru menunjukkan sebaliknya.
Di Kota Bogor dan Kabupaten Bekasi tarif air justru lebih murah. Kategorinya pun sederhana: rumah tangga, industri, dan sosial. Tidak ada pembedaan antara rumah susun dan rumah tapak.
BACA JUGA: Penghuni Lompat dari Balkon! Manajemen Kalibata City Langsung Koordinasi dengan Polisi & Imigrasi!
Menurut praktisi hukum rumah susun, Erlangga Kusuma, mengingatkan bahwa pejabat publik harus berbicara berdasarkan data. Ia mempertanyakan sumber informasi yang digunakan Gubernur dan menyoroti ketidakadilan struktural dalam sistem distribusi air saat ini.
“Polemik ini bukan cuma soal tarif, tapi soal ketidakadilan sistemik, mulai dari monopoli PAM Jaya hingga larangan air tanah yang membuat warga kehilangan pilihan,” tegasnya.
Senada dengan itu, pengamat kebijakan publik Sujoko menilai pendekatan klasifikasi pelanggan berdasarkan IMB sebagai kekeliruan logis. Ia menjelaskan bahwa IMB hanyalah dokumen awal pembangunan dan tak bisa dijadikan dasar tunggal untuk menentukan fungsi hunian.
“Yang sah itu sertifikat dan pertelaan setelah bangunan selesai. IMB itu ibarat akta lahir yang belum ada namanya,” pungkasnya. ***






